Jumat, 18 Juni 2010

PMI Buka Program D1 untuk Teknologi Transfusi Darah Angkatan 2010-2011

16.44 |

Program Pendidikan Diploma 1 ( D1) Teknologi Transfusi Darah (TTD), merupakan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia sejak tahun 1994 dengan kurikulum yang telah diperbarui dan telah disahkan oleh Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan RI berdasarkan SK Menkes No. HK.00.06.1.3.4913, tertanggal 9 September 1998.

Program Pendidikan D1 TTD ini, menyediakan tenaga ahli Teknologi Transfusi Darah sebagai tenaga profesional yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan Upaya Kesehatan Transfusi Darah ( UKTD), indikasi dan penanggulangan masalah yang berhubungan dengan transfusi darah.

Para lulusan Program D1 TTD nantinya akan berperan sebagai pelaksana Program UKTD di Unit-unit Transfusi Darah (UTD) PMI di seluruh Indonesia. Mereka juga akan melaksanakan proses pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan serta penyampaian darah untuk transfusi kepada petugas rumah sakit .

Masa Pendidikan pada program D1 TTD ini berlangsung selama 2 (dua) semester dengan beban studi 40 SKS, yang terdiri dari mata kuliah a/l: Hematologi, Serologi Golongan Darah, Administrasi Kesehatan, PP dan Gawat Darurat, dll terkait dengan transfusi darah.

Tahap seleksi meliputi:
1. Administrasi
2. Uji Tertulis (Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)
3. Uji Kesehatan (tes fisik, tes buta warna, foto Rontgen dada, tes kehamilan dan tes narkoba.

Tempat tes:
Untuk wilayah Jakarta berlangsung di Kampus PTTD, dan untuk diluar Jakarta ditentukan oleh Dinas Kesehatan setempat.

Waktu Pendaftaran: Mei - Juni 2010.

UNTUK KETERANGAN LEBIH LANJUT, DAPAT MENGHUBUNGI LANGSUNG :
KAMPUS PTTD PMI
Jl. Joe No. 7 Lenteng Agung Jakarta Selatan 12610
Telp: 021-788 47287-89
Fax: 021-788 47286

Pusat Pengelolaan Air dan Sanitasi Darurat Telah Dimiliki PMI

16.42 |


Mendukung kesiapsiagaan darurat bencana, PMI menggelar ”Peresmian Pusat Air dan Sanitasi Darurat” di Jl. Kiara Payung Kompleks Belakang Universitas Winaya Mukti Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Sabtu, 15 Mei 2010.

Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI merupakan salah satu layanan respon darurat bencana yang telah memberikan kontribusinya selama hampir 6 tahun. Pada operasi awalnya, program air dan sanitasi darurat PMI merupakan program dukungan Palang Merah Spanyol.

Sejak awal, para relawan PMI telah terlibat sebagai personil Emergency Response Unit Water and Sanitation (ERU Watsan) dalam kegiatan respon darurat bencana di berbagai tempat. PMI memperoleh dukungan Palang Merah Spanyol, berupa perlengkapan operasional sekaligus areal gudang penyimpanan mesin-mesin pengolahan air bersih di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Operasionalnya di Indonesia di awali dari penanganan bencana alam gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara tahun 2004. Saat itu, Emergency Response Unit Water and Sanitation (ERU Watsan) Palang Merah Spanyol (Spanyol Red Cross) mengirimkan unitnya (peralatan dan personilnya) ke Aceh dibawah koordinasi IFRC (International Federation of Red Cross and red Crescent) untuk menangani penyediaan air dan pengelolaan sanitasi bagi korban bencana selama masa darurat.

“Dalam rangka mendukung program kesiapsiagaan darurat bencana, dengan ini PMI meresmikan Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI. Ditargetkan, pusat layanan ini mampu memberikan kontribusi yang maksimal dalam respon darurat bencana baik nasional maupun skala internasional,” ucap Ketua Umum PMI Jusuf Kalla dalam acara peresmian Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI di Jatinangor, Sumedang, Sabtu (15/5).

Berdasarkan data, program air dan sanitasi darurat PMI di bawah Divisi Pelayanan Sosial dan Kesehatan Masyarakat Markas Pusat PMI, telah memberikan kontribusinya dalam operasi darurat bencana tsunami di Aceh (2004), gempa bumi di Nias (2005), gunung meletus dan gempa bumi di Yogyakarta (2006), banjir di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (2007), banjir di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (2008), gempa bumi di Sumatera Barat (2009), dan banjir di Karawang – Jawa Barat (2010).

Layanan ini juga telah memiliki catatan pengalaman dalam operasi darurat bencana skala internasional, yaitu Operasi Gabungan PMI bersama Palang Merah Spanyol di Pakistan (2007), Operasi Gabungan di China (2008) dan terkini, dua relawan spesialis air dan sanitasi darurat PMI terlibat dalam operasi darurat bencana gempa bumi di Haiti (2010).

Rampung acara penandatanganan prasasti Gedung Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI, Ketua Umum PMI Jusuf Kalla juga meninjau langsung kelengkapan fasilitas Gedung Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI dan mencicipi air minum hasil pengolahan air bersih dari PMI.

Turut hadir dalam acara peresmian ini, Ibu Mufida Jusuf Kalla, para perwakilan dari Palang Merah Spanyol, Ketua Delegasi Komite International Palang Merah Vincent Nicod, Ketua Delegasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional Bob McKerow, perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, jajaran Pengurus Pusat PMI, para pengurus PMI Provinsi Jawa Barat, dan segenap tim kerja Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI.

Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan serah terima bantuan dari PT. Pertamina kepada PMI, berupa 2 unit mobil ambulans.*
http://www.pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=451

(Dok. Foto Oleh Ayu N. Andini, Staf Humas Markas Pusat PMI)

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: dr. Lilis Wijaya, Kadiv. Pelayanan Sosial dan Kesehatan Masyarakat Markas Pusat PMI, Telp. 021-7992325 Ext.204, Fajar Sumirat, Staf Khusus Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI, Hp. 081387150687. Email: pmi@pmi.or.id

Hubungannya antara Palang Merah, Hukum Humaniter dan Freedom Flotilla ???

16.03 |

Di facebook PMI yang saya kelola bersama beberapa teman lain, dalam 3 hari ini banyak pertanyaan terkait peristiwa penyerangan rombongan kapal Freedom Flotilla oleh tentara Israel. Pertanyaannya antara lain, ‘apakah PMI ikut dalam rombongan, atau sebaliknya, mengapa PMI tidak ikut dalam rombongan’. Ada juga pertanyaan lain tentang palang merah internasional (ICRC). Misalnya, mengapa ICRC bisa berada di wilayah Gaza dengan ‘aman’ sementara yang lain tidak? Tidak hanya itu, pertanyaan bahkan lebih meluas ke soal pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau PMI menyebutnya, Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) oleh tentara Israel. Adakah hubungannya antara palang merah dengan HHI/HPI dan Freedom Flotilla?

Jelas ada.

Berawal dari Sejarah Perang

Bung Karno pernah mengatakan, ‘jas merah’ alias jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ini berlaku pula jika kita ingin membahas keberadaan palang merah.

Pada 24 Juni 1859 di kota Solferino, bagian utara Italia, terjadi pertempuran antara tentara Prancis dan Austria yang mengakibatkan sekitar 40 ribu tentara terluka dan tewas. Saat itu Henry Dunant seorang pengusaha berkebangsaan Swiss tengah melakukan perjalanan bisnis dan melewati daerah pertempuran tersebut. Hatinya tergetar menyaksikan beribu-ribu tentara dari kedua belah pihak dibiarkan menderita akibat tidak adanya pelayanan medis. Kemudian Dunant mengajak penduduk setempat untuk membantunya merawat para korban tanpa membeda-bedakan mereka.

Kenangan dari Solferino

Sekembalinya ke Swiss, pengalaman yang sangat membekas tersebut dia tuangkan dalam sebuah buku yang diberi judul ‘Un Souvenir de Solferino (Kenangan dari Solferino). Dalam buku yang menyentak seluruh Eropa tersebut, Dunant mengusulkan dua gagasan penting:

1. Perlunya membentuk organisasi sukarelawan yang disiapkan pada masa damai untuk menolong para prajurit yang terluka di medan perang.

2. Perlunya suatu perjanjian internasional untuk memberi pengakuan dan perlindungan kepada para relawan pada waktu bertugas dan kepada para prajurit yang terluka di medan perang..

Ide Dunant menarik perhatian banyak pemimpin di Eropa. Pada 1863, sebuah perkumpulan amal bernama Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Masyarakat membentuk Komisi Lima untuk mewujudkan gagasan Dunant. Komisi ini kemudian mendirikan Komite Internasional Pertolongan Korban Luka, yang kemudian berganti nama menjadi Komite Internasional Palang Merah atau ICRC. Selanjutnya, pada 26 Oktober 1863 dibuatlah sebuah Konferensi Internasional di Swiss yang dihadiri 16 negara.

Negara-negara tersebut sepakat, bahwa perhimpunan bantuan dan kesatuan medis angkatan perang harus memiliki satu tanda khusus agar dapat dikenali oleh seluruh pihak yang bertikai, dan tanda itu haruslah tanda yang netral. Untuk itu, atas penghormatan terhadap Negara Swiss, sebagai pihak yang netral dan tempat dimana Konferensi-konferensi Internasional diadakan, dijadikan dasar untuk mengadopsi warna kebalikan bendera Swiss – palang putih diatas dasar merah – dijadikan sebagai tanda atau lambang yang netral : palang merah diatas dasar putih.

Sejak itu, lahirlah badan palang merah.

Keberadaan ICRC tersebut kemudian mendorong Negara-negara untuk membentuk badan palang merah serupa, dimana hingga saat ini telah terdapat 186 organisasi palang merah di 186 negara di seluruh dunia.

Inilah realisasi dari ide Dunat yang pertama, yaitu terbentuknya organisasi sukarelawan.

Adapun realisasi dari ide kedua, secara berturut-turut dalam setiap Konferensi Internasional, lahir penjanjian-perjanjian yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Perjanjian yang utama terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap tentara yang terluka di medan pertempuran darat (Konvensi Jenewa I), medan pertempuran laut dan korban kapal karam (Konvensi Jenewa II), perlindungan terhadap tawanan perang (Konvensi Jenewa III) serta perlindungan terhadap warga sipil (Konvensi Jenewa IV). Hingga saat ini, telah terdapat 191 negara di dunia yang telah menjadi Negara pihak atau Negara penandatangan Konvensi-konvensi Jenewa tersebut.

Inilah realisasi dari ide Dunant yang kedua.

Lantas apa hubungannya Konvensi Jenewa dengan Palang Merah?

Jika anda melihat isi dari Konvensi-konvensi Jenewa, jelas tersebut bahwa mereka yang mengenakan tanda pelindung yaitu palang merah, tidak boleh diserang. Disebutkan pula, bahwa hanya kesatuan medis angkatan perang dan ICRC (serta badan palang merah dari setiap Negara) saja, yang berhak menggunakannya.

Dengan kata lain, Negara-negara sepakat – termasuk Israel dan Palestina tentunya – bahwa hanya pihak yang berhak menggunakan tanda perlindungan saja, yang boleh masuk ke lokasi perang dan keberadaannya dilindungi serta disahkan oleh hukum internasional.

Pihak lain? Hingga saat ini belum diatur dalam hukum internasional, kecuali kesepakatan untuk perlindungan atas keberadaan badan-badan milik PBB.

Nah, itulah mengapa hingga saat ini, di wilayah-wilayah pendudukan, hanya ICRC (dan PBB) saja yang bisa dengan ‘aman dan diijinkan’ untuk masuk memberi bantuan kepada para korban perang. Termasuk di wilayah Gaza tentunya. Adapun jika Negara-negara ingin membantu, maka badan palang merah di Negara tersebutlah yang bisa berkoordinasi dengan ICRC. Dengan kata lain, Negara – melalui badan palang merah nasionalnya – dapat memberi bantuan langsung kepada para korban perang tanpa melalui birokrasi kenegaraan bahkan tanpa perlu ada hubungan diplomatik terlebih dahulu.

Itulah sebabnya mengapa walaupun Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun PMI sebagai badan palang merah nasional di Indonesia, dapat langsung mengubungi badan palang merah Israel (yang bernama Magen David Adom) dan sekaligus menghubungi ICRC untuk meminta mereka membantu evakuasi relawan yang diserang oleh tentara Israel serta meminta Magen David Adom (MDA) membantu memonitor keadaan 2 WNI yang masih dirawat serta upaya evakuasi.

Begitu pun dengan Bulan Sabit Merah Palestina. Lambang bulan sabit merah adalah alternative lambang palang merah yang memiliki fungsi sama; sebagai tanda pelindung. PMI dapat menghubungi langsung Bulan Sabit Merah Palestina, dan antara Bulan Sabit Merah Palestina dengan MDA tetap dapat saling bekerjasama. PMI pun dapat bekerjasama dengan keduanya. Hal itu dibuktikan dengan datangnya Presiden Bulan Sabit Merah Palestina beberapa waktu lalu ke Indonesia (PMI) untuk kunjungan balasan dan komitmen untuk bekerjasama lebih lanjut. Adapun permintaan serupa dari MDA belum dapat dipenuhi oleh PMI dengan berbagai pertimbangan.

Kondisi netralitas demikianlah yang kemudian menjadi syarat dan komitmen Negara-negara, bahwa hanya boleh ada satu badan palang merah nasional (disebut dengan perhimpunan nasional) di suatu Negara – baik yang menggunakan tanda atau lambang palang merah maupun tanda atau lambang bulan sabit merah. Negara harus memilih salah satu dan harus melindungi keduanya agar tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, selain yang disebut dalam Konvensi Jenewa. Penyalahgunaan lambang atau penggunaan lambang oleh pihak yang tidak berhak, adalah pelanggaran atas Konvensi Jenewa dan merupakan kewajiban Negara untuk mengaturnya.

Intinya, Satu Negara - Satu Lambang - Satu Perhimpunan Nasional

Bagaimana dengan LSM atau pihak lain non badan palang merah nasional dan non kesatuan medis militer jika ingin memberi bantuan kepada korban perang?

Bisa dikatakan, hingga saat ini belum ada hukum internasional yang mengatur perlindungan atas pihak selain yang tersebut dalam Konvensi Jenewa untuk dapat secara bebas masuk ke wilayah perang ‘sebebas’ PBB dan ICRC. Kecuali, dengan seijin otoritas setempat.

Tanpa bermaksud membela Israel, maka alasan itu membuat Israel dapat berkelit dengan menuduh rombongan kapal Freedom Flotilla yang membawa ratusan relawan, juga membawa mata-mata. Padahal mata-mata bukanlah pihak yang dilindungi oleh hukum internasional. Dan hal itu ‘dimanfaatkan’ oleh Israel dengan serangan membabi buta kepada seluruh relawan yang berada di kapal tersebut tanpa kecuali. Sungguh sangat disayangkan. Bantuan untuk Gaza pun tertunda.

Seandainya bantuan tersebut dikirimkan melalui ICRC atau PBB, tentu ceritanya akan lain. Bantuan kemungkinan besar dapat dikirimkan ke Gaza tanpa kendala. Apalagi, bantuan yang sudah ada selama ini masih jauh dari cukup. Saat ini, agar bantuan tersebut dapat tetap disalurkan ke Gaza, maka sedang diupayakan agar distribusinya dapat dilakukan oleh ICRC atau PBB, sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.

Rakyat Gaza perlu segera dibantu. Seluruh dunia harus bersatu padu membantu Gaza. Namun demikian, bantuan yang tepat lebih sangat dibutuhkan oleh Gaza. Tepat jalurnya, tepat waktunya, tepat segalanya.

Siamo tutti fratelly, kita semua bersaudara …

(F. Sidikah R, Pekerja Palang Merah)

Bendera Negara Swiss: palang putih diatas dasar merah
Tanda Pelindung: palang merah diatas dasar putih
Kristal Merah Israel (Magen David Adom)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Peliharaanku